Kamis, 08 Mei 2008

RUU Pelayaran Bukti Liberalisasi yang dilakukan Pemerintah

Desi Puji Lestari, S.Pd. (Ketua Divisi Litbang AlPen ProSa Jawa Timur)

Ratusan karyawan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) yang tergabung dalam Serikat Pekerja Pelabuhan dan Pengerukan Indonesia (SPPI) di beberapa kota Indonesia seperti Jakarata, Makasar, Cilacap dan Surabaya melakukan unjuk rasa. Dalam aksinya para demonstran menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pelayaran oleh DPR karena RUU tersebut merupakan bentuk liberalisasi pengelolaan pelabuhan umum sehingga baik swasta asing maupun nasional yang mempunyai kemampuan modal besarlah yang akan tetap eksis.

Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pelayaran oleh Panitia kerja (Panja) Komisi V DPR RI yang di sahkan pada tanggal 8 april telah jelas mengungkapkan bahwa posisi PT Pelindo akan digantikan oleh Badan Penyelenggara Pelabuhan (BPP) sebagai pihak yang bertanggng jawab penuh atas pengelolaan dan penyelenggaraan aktivitas pelayaran dan pelabuhan yang selama ini di pegang Pellindo.

Jika dulu dalam pasal 33 menjelaskan bahwa PT (Persero) Pelabuhan Indnesia (Pelindo) merupakan salah satu BUMN yang strategis bagi kebutuhan publik Indonesia, namun kini RUU Pelayaran yang disahkan DPR justru lebih memberi kuasa kepada pelayaran swasta asing terhadap pengendalian arus perdagangan nasional dan ekspor impor yang saat ini telah dikuasai lebih dari 97 persen. Jika hal ini di berlakukan maka akan terjadi persaingan tidak sehat karena para penilik modal dengan leluasa akan menguasai asset pelabuhan dari hulu hingga hilir.

Sebenarnya swastanisasi Pelindo bukan hal yang mengejutkan karena telah masuk dalam rancangan pemerintah untuk segera mengumumkan BUMN yang akan go publik sejak 2007 lalu, termasuk PTP Nusantara IV, dan PT Jasa Marga. Jika sebelumnya pemerintah telah menjadikan lima BUMN go public, yakni PT.Telkom, PT Indosat, PT Tambang Timah, PT Aneka Tambang, dan PT Semen Gresik, maka akan menyusul empat BUMN lainnya seperti PT Pembangkit Jawa Bali I, PT Pembangkit Jawa Bali II, PT Krakatau Steel, dan PT Rajawali Nusantara Indonesia.

Jika Kementrian BUMN mengungkapkan bahwa tujuan dari dana hasil penawaran umum perdana (IPO) saham BUMN tidak untuk menutupi kekurangan Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN), namun dana (IPO) yang diperoleh akan masuk ke perusahaan untuk dijadikan sebagai dana pengembangan bagi BUMN yang tidak sehat, sedangkan BUMN yang di privatisasi melalui penjualan ‘strategic sales’ (divestasi) akan masuk ke APBN, maka harusnya BUMN semakin lebih baik dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat namun faktanya pelayanan yang di hasilkan justru semakin memberatkan masyarakat.

Seperti yang terjadi pada PT. Jasa Marga yang menaikkan tarif jalan tol yang justru memberatkan para pengguna jalan tapa di ikuti perbaikan pelayanan. Hal ini membuktikan bahwa ketika sebuah BUMN telah dikuasai swasta maka yang menjadi tujuan dari berjalannya BUMN adalah mendapatkan keuntungan (profit oriented). Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemilik modal tak akan mengeluarkan modal jika perusahaan yang di investasi tidak memberikan keuntungan (no free lunch)

Ironinya Pemerintah sebagai lembaga yang seharusnya memenuhi kebutuhan hidup rakyat justru menswastanisasi lemabaga-lembaga yang menguasai hajat hidup orang banyak. Ketika para investor telah menguasai sebagian besar saham BUMN maka mau tidak mau pengelolaannya harus mendatangkan keuntungan, jika hal ini terjadi maka kenaikan harga akan menjadi solusi agar BUMN tersebut tetap survive.

Indonesia sebagai Negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah masih mempunyai daya tarik bagi investor asing untuk menanamkan modalnya maka jangan heran jika Indonesia ibarat sepotong roti yang menjadi rebutan Negara-negara kapitalis. Jadi wajar jika Negara kita tak pernah lepas dari kemiskinan dan keterbelakangan karena kita masih bergelut dengan kapitalis di setiap sendi kehidupan.

Pemerintah telah banyak menjual sumber daya alam kita, kini apakah bidang pelayaran juga akan bernasib sama seperti halnya PT. Jasa Marga. Jika pemerintah dan DPR tetap bersikukuh mensyahkan RUU Pelayaran berarti kita telah menggadaikan suluruh distribusi keluar masuknya barang dan jasa kepada asing. Sudah matikah hati nurani pemerintah dan DPR yang nota bene mengaku pelayan dan wakil-wakil rakyat ?

Sudah saatnya kita terlepas dari kapitalis global yang mencengkram kita karena sejatinya telah nampak kerusakan yang di akibatkan sistem kapitalis sekuler yang di dengung-dengungkan para Negara komprador, serta mengembalikan seluruh sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak pada hakekatnya sebagai harta kepemilikan umum yang di gunakan untuk kesejahteraan rakyat. Kini saatnya mengembalikan fungsi seorang pemimpin sebagai seorang pelayan umat bukan majikan yang harus di layani rakyatnya.(alpenprosajatim on line)






Tidak ada komentar: