Senin, 11 Januari 2010

Ayin, FACIAL di Penjara


Artalyta Suryani (Ayin) terpergok memiliki ruangan khusus di Rutan Pondok Bambu dengan fasilitas mewah. Dirjen Pemasyarakatan (PAS) Depkum HAM Untung Sugiono menyatakan ruangan itu terbuka untuk umum bukan untuk Ayin seorang. Apa iya… Hwra kadag…


Menurut Untung, ruangan yang terpergok Satgas Pemberantasan Mafia Hukum sebagai ruangan Ayin sebenarnya adalah ruangan ketrampilan Rutan Pondok Bambu. (Masih pinter aja ngeles)

"Ruang tersebut terbuka untuk umum dan untuk kepentingan umum pula," kata Untung dalam jumpa pers di kantornya, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Senin (11/1/2010).

Bener-bener hokum di negeri kita Indonesia bobrok… yang mbok mencuri 3 buah kakao saja bias 7 bulan ancamannya… nah ini si Ayin yang nyuap ber ratusan juta Oknum hokum dinegeri ini malah berleha-leha di Hotel Prodeo… bagaimana bias Jera. Menurut Luthfi Afandi, S.H. - Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran salah satu penyebab bobroknya hokum di negeri ini adalah Sanksi Hukum Tidak Menimbulkan Efek Jera. Padahal, salah satu tujuan diterapkannya sanksi bagi pelaku kejahatan, agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya lagi. Untuk itu, seharusnya pelaku dihukum dengan sanksi yang membuat jera. Sebagai contoh, pembunuhan yang disengaja (Pasal 338 KUHP) hanya dikenakan sanksi paling lama penjara 15 tahun, Pencurian (Pasal 362 KUHP) hanya dikenakan sanksi penjara paling lama 5 tahun. Hubungan badan (perzinahan) sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 284 KUHP, hanya dikenakan sanksi paling lama 9 bulan penjara.

Sanksi yang tidak menimbulkan efek jera sebagaimana contoh diatas alih-alih menekan angka kejahatan, yang terjadi malah jumlah penjahat dan residivis terus meningkat yang berakibat pemerintah kewalahan untuk membiayai makan para napi/tahanan. Bahkan negara harus hutang sebesar 144,6 milyar kepada rekana1n LP/rutan.

Hal tersebut tentunya juga diperkuat dengan sistem pemidanaan penjara yang justru memberi peluang terpidana mengulangi kejahatan yang pernah dilakukan. Di penjara, terpidana bukan hanya dapat bebas “belajarâ” trik melakukan kejahatan yang lebih besar, bahkan disinyalir saat ini penjara malah menjadi tempat yang nyaman melakukan pelecehan seksual, seperti kasus sodomi dan lesbi, kasus pemerasan, dan kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Kasus-kasus kejahatan itu tidak hanya terjadi di antara narapidana, tetapi juga bisa dengan pihak lain, seperti pegawai LP atau pengunjung.
Ala kuli hal, emang hokum di negeri ini dibangun pada pondasi yang bobrok,, jadi wajar jika akibatnya kyak ginie..
Sistem hukum dan peradilan di Indonesia sangat dipengaruhi dan dilandasi oleh sistem hukum dan peradilan Barat yang sekular, yakni bersamaan dengan kemunculan sistem demokrasi pada abad gelap pertengahan (the dark middle age) yang memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menetapkan hukum tanpa terikat oleh ajaran agama (Kristen). Sumber pokok Hukum Perdata di Indonesia (Burgerlijk Wetboek) berasal dari hukum perdata Perancis, yaitu Code Napoleon (1811-1838), yang karena pendudukan Perancis di Belanda berlaku di juga negeri Belanda (1838). Sementara di Indonesia, mulai berlaku sejak 1 Mei 1848 bersamaan dengan penjajahan Belanda. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP atau Wetboek van Strafrecht yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1918 setelah sebelumnya diberlakukan tahun 1873 juga merupakan copy dari KUHP untuk golongan Eropa (1867) dan KUHP untuk golongan Eropa juga merupakan copy dari Code Penal, yaitu Hukum Pidana di Perancis zaman Napoleon (1811). Begitu juga dengan hukum acara perdata dan pidana yang juga berasal dari Barat, walaupun dengan penyesuaian.

Dengan demikian menjadi jelas, bahwa sistem hukum dan peradilan di Indonesia merupakan produk Barat Sekular yang mengesampingkan Al-Khaliq sebagai pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan ini. Sehingga dapat dipastikan produk hukum yang dikeluarkan pasti tidak (akan) sempurna dan memiliki banyak kelemahan.



Tidak ada komentar: