Sabtu, 10 Mei 2008

KETIKA CAMILLA GIBB MENGENAL ISLAM

Oleh :Fauziah
Anggota AlPen ProSa (Aliansi Penulis Pro Syari’ah) Kal-Sel

Camilla Gibb novelis asal Kanada penasaran dengan Islam karena terlalu sering membaca tulisan dan publikasi buruk tentang Islam. Sungguh novelis yang cerdas, yang tidak begitu saja percaya dengan tulisan yang dibacanya, bahkan untuk mengenal Islam dia rela belajar Islam di Mesir selama 1,5 tahun dan tinggal dengan keluarga muslim di Ethiopia selama 1,5 tahun. Dari pengalamannya di atas Camilla menulis Novel “Sweetness In The Belly” yang ingin menggambarkan bahwa Islam adalah agama yang cinta damai. Itulah sekelumit yang penulis baca di harian Banjarmasin Post, di Rubrik Nusantara dengan judul “Islam itu Penuh Warna”.

Benar kata Camilla, Islam saat ini dicap sebagai teroris, bagaimana tidak? Setiap pelaku teror atau yang terkait dengan kasus terorisme pasti dikaitkan dengan Islam atau Jamaah Islamiyah. Benarkah Islam demikian? Camilla menjawab bahwa Islam cinta damai dan itu tidak pernah diangkat ke permukaan.

Mengapa seorang Camilla Gibb begitu penasaran dengan Islam ? Ketika sebagian besar umat Islam sendiri takut dengan Islam ? Dua pertanyaan yang seharusnya membuat kita ingin mengenal Islam lebih dalam, dan hal apa yang menjadi sumber ketakutan umat terhadap Islam itu sendiri.
Bagian syariat yang sering dipandang sebagai momok menakutkan adalah beberapa ketentuan-ketentuan hukum dalam nizhâm al-’uqûbât (sistem pidana). Berbagai jenis dan bentuk sanksi yang ditetapkan syariat seperti cambuk, rajam, qishâsh, atau potong tangan dianggap terlalu keras dan tidak manusiawi; bahkan sudah dianggap ketinggalan zaman dan tidak layak bagi manusia modern. Tragisnya, syariat Islam yang diterapkan dalam negara kerap hanya dipahami di seputar hukum tersebut.

Ketakutan itu jelas tak beralasan. Sebab, berbagai jenis dan bentuk hukuman yang ada dalam nizhâm al-’uqûbât itu hanya akan dikenakan kepada pelaku pelanggaran syariat. Hukuman rajam, misalnya, tidak akan ditimpakan kecuali terhadap pelaku perzinaan; potong tangan tidak akan dijatuhkan kecuali terhadap pencuri (yang memenuhi syarat-syarat syar‘i untuk dipotong tangannya).

Oleh karena itu, mereka yang bukan pezina, pencuri, pemabuk, pembunuh, dan pelaku pelanggaran syariat lainnya tidak perlu khawatir dengan berbagai jenis hukuman itu. Lagi pula, berbagai hukuman semestinya harus dilihat sebagai bentuk perlindungan kepada masyarakat luas dan penjagaan dari pelanggaran syariat. Hukuman cambuk atau rajam bagi pezina, misalnya, harus dipandang sebagai perlindungan syariat agar manusia tetap menjadi makhluk beradab.

Patut dicatat, semua ketetapan syariat itu pada hakikatnya adalah untuk kebaikan dan kemaslahatan manusia. Semua perkara yang dituntut syariat untuk dikerjakan adalah maslahat bagi manusia. Sebaliknya, semua perkara yang dituntut oleh syariat untuk ditinggalkan adalah mudarat bagi manusia.

Oleh karena itu, setiap orang yang beriman dan menaati syariat-Nya akan dianugerahi kehidupan yang baik (QS an-Nahl []: 97). Allah Swt. juga berjanji akan melimpahkan dan membukakan berkah-Nya dari langit dan bumi kepada penduduk negeri yang mau beriman dan bertakwa (QS al-A‘raf [7]: 96). Orang yang menjalankan dîn-Nya secara istiqamah juga dijamin memperoleh kehidupan yang mudah (QS al-Maidah [5]: 66).

Ketika Camilla Gibb mengatakan Islam cinta damai, kita setuju bahwa Islam memang cinta damai. Salah satu contoh aplikasi Islam yang cinta damai yaitu mengenai pengaturan non-muslim yang hidup dalam tatanan Negara Islam :

Kedudukan Non-Muslim
Dalam konteks bernegara, secara umum orang kafir terbagi menjadi dua, yakni: (1) warga negara; (2) bukan warga negara. Orang-orang non-Muslim yang termasuk warga negara Islam disebut kafir dzimmi, yakni orang-orang yang tidak beragama Islam namun hidup di dalam naungan Daulah Islamiyah. Orang yang berstatus dzimmi memiliki perjanjian berupa perlindungan dari umat Islam untuk memperlakukan mereka sesuai dengan apa yang layak untuk mereka, termasuk mengatur segala urusan mereka dengan hukum Islam.
Semua orang yang menyandang status sebagai warga negara akan menikmati semua hak, di samping menjalankan semua yang ditetapkkan oleh syariat. Tidak ada bedanya antara Muslim atau non-Muslim. Mereka harus diperlakukan secara adil (QS an-Nisa’ [4]: 8).
Negara juga tidak boleh memberikan keistimewaan kepada individu-individu tertentu di antara rakyatnya dalam masalah hukum, pengadilan, dan pengaturan berbagai urusan; tidak boleh ada diskriminasi atas dasar ras, agama, atau yang lainnya. Dalam hal muamalat dan ‘uqûbât, negara menerapkan hukum Islam kepada seluruh warganya, baik Muslim maupun bukan.

Sedangkan dalam hal keyakinan agama, mereka tidak diganggu (QS al-Baqarah [2]: 256); demikian pula dalam urusan pernikahan dan perceraian. Mereka juga tidak dipaksa ikut berjihad. Dalam hal makanan dan pakaian, mereka diperlakukan sesuai dengan agama mereka. Jika agama mereka membolehkan babi dan khamr, mereka diizinkan mengkonsumsinya; asal berada dalam lingkungan mereka. Kaum laki-lakinya juga tidak dilarang mengenakan emas atau sutra. Hanya saja, mereka tidak diperbolehkan memperjualbelikan makanan atau minuman yang diharamkan Islam itu di pasar-pasar. Wanita-wanitanya juga tidak diperkenankan menggunakan pakaian yang tidak sesuai dengan syariat ketika berada dalam kehidupan umum. Sebab, dalam kehidupan umum semua warga negara harus tunduk pada hukum Islam tanpa memperhatikan lagi agama yang dipeluknya.
Paparan di atas menunjukkan, bahwa tidak ada yang perlu ditakuti dari penerapan syariat Islam. Bahkan seharusnya, syariat Islam dirindukan oleh setiap orang. Siapa yang tidak merindukan hidup sejahtera, tenteram, damai dan bahagia di bawah naungan Islam? Jika kebenaran dan keunggulan Islam telah terpampang dengan jelas, masihkah ada yang betah berlama-lama hidup menderita di bawah cengkeraman Kapitalisme, sebagaimana saat ini?

Wallahu’alam bish shawab

Sumber: Alpen Prosa





Tidak ada komentar: