Sabtu, 10 Mei 2008

Sekolah Favorit Vs Sekolah Biasa

Oleh: Dian Auliya, Anggota AlPen ProSa Makassar, Alumnus UNM
(Dimuat di Tribun Timur, 19-7-2007)

Penerimaan Siswa Baru (PSB) pada beberapa sekolah utama (sekolah unggulan, favorit, standar nasional/internasional, sekolah mandiri, dan akselerasi) baik SMP maupun SMA khususnya di Makassar sudah diumumkan pekan lalu.
Tentu saja, hasil pengumuman itu menimbulkan kesan dan berbagai reaksi berbeda dari para calon siswa maupun orangtua mereka. Bagi yang lulus, hasil pengumuman itu menjadi moment yang menyenangkan. Impian untuk mengenyam pendidikan pada sekolah idaman menjadi kenyataan.

Sementara bagi yang tidak lulus, merasa kecewa, karena terdepak dari sekolah idaman. Impian untuk belajar di sekolah pilihan pun hanya bertengger di angan-angan.

Sekolah Favorit
Sebenarnya, ada yang perlu dicermati dari dikotomi sekolah favorit atau sekolah unggulan vs sekolah biasa. Adanya dikotomisasi sekolah seperti ini cenderung menyebabkan tumbuh suburnya persaingan antarsekolah, baik dari segi uang (bayaran), fasilitas, dan lain-lain.

Dari sisi bayaran, sekolah favorit sudah pasti lebih mahal dibandingkan dengan sekolah biasa. Berdasarkan data yang pernah dirilis Tribun Timur pada tanggal 15 Juni 2007, bahwa biaya yang harus dikeluarkan oleh siswa yang masuk di SMPN 6 Makassar, sebanyak 2, 91 juta per tahun untuk satu siswa dengan rincian Rp 242.500 per bulan.
Ini baru data dari satu sekolah. Tidak menutup kemungkinan, ada sekolah lain yang lebih mahal biayanya dari itu, baik untuk tingkat SMP maupun SMA.

Atas fakta seperti ini, bisa dipastikan hanya anak-anak dari kalangan orang yang memiliki kemampuan ekonomi saja yang bisa mengenyam bangku pendidikan di sekolah bermutu seperti ini.Dengan biaya sebesar itu pula, susah bisa dibayangkan anak-anak dari kalangan tidak mampu tidak bisa menikmati pendidikan di sekolah berkualitas tersebut.Mereka (yang tidak mampu secara ekonomi), otomatis tidak akan bisa masuk karena terhalang oleh ketidakmampuan ekonomi meski mungkin saja dari segi otak mereka bisa bersaing dengan anak orang yang memiliki kemampuan ekonomi.

Sementara dari segi fasilitas, kalaupun sekolah-sekolah favorit atau sekolah unggulan tersebut mengalokasikan anggaran yang besar untuk membangun sarana. Anggaran itu mereka peroleh dari biaya sekolah siswa. Kalau itu yang terjadi, hanya sekolah favorit yang bisa memiliki fasilitas mewah seperti berbagai peralatan multimedia untuk kelancaran proses belajar mengajar maupun fasilitas pendukung untuk terjaminnya kenyamanan selama proses belajar mengajar seperti AC.

Hal sebaliknya terjadi pada sekolah biasa. Dengan anggaran yang sangat minim yang diperoleh dari pemerintah, tidak banyak yang bisa dilakukan untuk menaikkan mutu/kualitas pendidikan. Hal ini nantinya akan berpengaruh pada output sekolah tersebut.

Perbedaan inilah sekaligus memperkuat citra di tengah masyarakat bahwa sekolah favorit atau sekolah unggulan itu memiliki kualitas tinggi, sedangkan sekolah negeri biasa bermutu pas-pasan kalaupun tidak rendah.Hal lain yang juga perlu dicermati adalah sering muncul pembandingan antara sekolah swasta dengan sekolah negeri. Bahwa sekolah negeri itu kurang bermutu dan sekolah swasta itu bermutu.

Meski fakta memang mungkin bicara seperti itu, tapi kita berharap hal tersebut tidak ditindaklanjuti dengan adanya upaya swastanisasi sistem pendidikan secara keseluruhan berdasarkan citra awal tersebut. Karena pasti akan membuat biaya pendidikan semakin membengkak.

Mempengaruhi Mental
Dikotomi sekolah favorit vs sekolah biasa seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, tidak hanya akan berdampak pada persaingan antarsekolah dalam penawaran biaya dan fasilitas kepada masyarakat, tetapi juga berdmpak pada mental anak didik.
Siswa yang belajar di sekolah favorit, dengan berbagai fasilitas yang ada, bisa ‘berkreasi’ dengan seluas-luasnya. Namun, boleh jadi tanpa disadari, mereka juga mungkin cenderung akan berbangga diri (baca: angkuh) meski tidak semuanya. Mereka merasa diri hebat karena ternyata dia bisa bersekolah di tempat favorit yang tidak semua orang bisa memasukinya.

Sementara pada siswa yang belajar di sekolah biasa bisa akan menjadi minder karena tidak bisa seperti teman-teman mereka yang lainnya yang bisa menikmati fasilitas sekolah favorit.Jika hal ini terjadi, maka akan mempengaruhi mental luaran dan pada gilirannya mempengaruhi mental genarasi masa depan.Oleh karena itu, ini seharusnya menjadi perhatian bersama terutama bagi pemerintah, bahwa jangan sampai sekolah yang seharusnya menjadi tempat mendidik anak-anak bangsa guna menyongsong masa depan yang cerah dan gemilang justru menjadi tempat untuk ‘tumbuhnya’ karakter-karakter negatif.

Kewajiban Pemerintah
Pada dasarnya, penulis sepakat bahwa pendidikan bermutu dan berkualitas itu memang harus dibayar mahal. Namun, bukan berarti mahalnya biaya untuk menjangkau pendidikan tersebut diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat.Jika seperti ini yang terjadi, maka sudah jelas, siapa yang mampu membayar mahal, maka dialah yang bisa memperoleh pendidikan bermutu. Padahal, pendidikan bermutu harusnya menjadi hak semua orang. Semua putra-putri bangsa ini punya hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan berkulitas dan berhak menjadi yang terbaik, terlepas apakah dia dari golongan kaya atau pun miskin.

Maka, di sinilah dibutuhkan peran pemerintah sebagai penyelenggara negara dan penjamin berbagai kebutuhan masyarakat termasuk untuk bidang pendidikan.
Pemerintah berkewajiban menyediakan pendidikan murah bahkan gratis kepada seluruh lapisan masyarakat. Ini bukan suatu hal yang mustahil untuk diwujudkan mengingat berlimpahnya kekayaan yang dimiliki negeri ini, yang sejatinya adalah milik rakyat.
Pemerintah hanya diamanahkan untuk mengelolanya, lalu mendistribusikannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk pelayanan yang baik pada berbagai bidang, termasuk pelayanan pendidikan murah/gratis.

Dengan demikian, diharapkan tidak akan ada lagi kesan sekolah favorit versus sekolah biasa, sekolah swasta vs sekolah negeri, di mana selama ini kelompok pertama sering dianggap lebih baik kualitasnya dibanding yang kelompok sekolah yang kedua.
Jika memang sekolah negeri biasa selama ini dianggap kurang bermutu, maka peran pemerintahlah untuk meningkatkan kualitas sekolah-sekolah itu. Bisa saja dengan meningkatkan kesejahteraan guru hingga mereka lebih fokus untuk mendidik para siswanya, menambah fasilitas pendidikan, hingga menaikkan anggaran pendidikan.
Pada akhirnya, seluruh putra-putri bangsa akan bisa mengakses pendidikan bermutu dan berkualitas untuk selanjutnya menyongsong masa depan yang cerah. Siapapun mereka, mereka juga adalah generasi masa depan negeri ini, yang di tangan merekalah kelak nasib bangsa ini akan dipertaruhkan. Kepada mereka pula, estafet kepemimpinan bangsa ini kelak akan alihkan.

Sumber: Alpen Prosa





Tidak ada komentar: